Mendapatkan sebuah jabatan bukan berarti memanfaatkan sebuah keadaan.
Sudah menjadi rahasia umum Pejabat di negara kita yang sekarang memiliki
pola hidup yang serba mewah. Menyandang status sebagai orang penting
dalam pemerintahan, para pejabat di negara kita selalu selalu dimanjakan
dengan segala fasilitas yang sangat menggiurkan..
Sangat berbeda sekali dengan pejabat-pejabat tinggi yang ada di masa
lalu, dimana Indonesia baru berdiri pejabat-pejabat ini menolak semua
fasilitas mewah yang diberikan negara kepadanya. Mereka lebih memilih hidup sederhana dalam menjalankan tugasnya membangun sebuah negara yang sejahtera.
Dan melalui kesederhanaan tersebut pula lah para pejabat tinggi
Indonesia di masa lalu dianggap sebagai pahlawan negara. Dengan keadaan
yang serba sederhana para pejabat ini berhasil membangun Indonesia yang
mulai dikenal dunia. Kini namanya menjadi sosok yang di rindukan banyak
orang.
Hoegeng Iman Santosa
Hoegeng Iman Santosa adalah Kepala Kepolisian Republik Indonesia yang
juga sempat menjabat sebagai Menteri Iuran Negara (1965), dan menjadi
Menteri Sekretaris Kabinet Inti (1966). Seperti yang tertulis dalam
sebuah buku berjudul 'Hoegeng:
Polisi dan Menteri Teladan', Hoegeng ternyata pernah menolak pemberian mobil dinas
dari pemerintah saat masih menjabat sebagai Menteri Sekretaris
Presidium Kabinet. Padahal kala itu Hoegeng mendapat dua mobil dinas
untuk bekerja dan satu lagi untuk keluarganya.
Selain itu, Hoegeng rupanya juga ditawari mobil jenis Holden keluaran
terbaru tahun 1965 untuk keluarganya. Namun apa daya dia tetap menolak
pemberian itu dengan alasan sederhana. Hoegeng mengaku masih mempunyai
mobil dinas Jeep Willis dari kepolisian.
Namun seiring waktu berjalan, Hoegeng mau tak mau harus mengambil mobil
dinas itu karena sudah menjadi peraturan negara. Dia pun menitipkan
mobil itu kepada Soedharto Martopoespito, asisten/sekretaris
kesayangannya,dengan alasan garasi rumahnya tak cukup, dan akan
memakainya jika suatu ketika diperlukan.
Mohammad Natsir
Jika pejabat lain sibuk memperkaya diri, maka Mohammad Natsir adalah
pengecualian. Natsir sederhana dan teguh. Sosoknya menjadi teladan
sepanjang zaman. Natsir menjabat menteri penerangan tahun 1946 dan
perdana menteri Indonesia tahun 1950-1951.
Dengan dua jabatan mentereng itu, seharusnya Natsir bisa hidup mewah.
Tapi hidupnya jauh dari kaya. Saat itu Natsir hanya memiliki sebuah
mobil De Soto yang sudah tua. Mobil itu susah payah dibelinya dengan
menabung bertahun-tahun.
Dalam 'Seri Buku Tempo, Natsir, politik santun di antara dua rezim'
dikisahkan suatu hari ada seorang tamu yang datang ke rumah Natsir. Tamu
itu berniat memberikan sebuah mobil Chevrolet Impala. Pada tahun 1956
mungkin Chevrolet Impala itu sekelas Toyota Royal Saloon yang biasa
digunakan pejabat RI saat ini.
Anak-anak Natsir yang menguping pembicaraan tamu dan ayah mereka, sangat
gembira. Terbayang betapa nikmatnya mengendarai Chevrolet Impala yang
besar dan mewah itu. Tapi harapan mereka buyar. Natsir dengan halus
menolak pemberian itu. Lemaslah mereka. "Mobil itu bukan hak kita. Lagi
pula yang ada masih cukup," ujar Natsir menghibur anak-anaknya.
Bukan hanya mobil, keluarga Natsir pun kesulitan membeli rumah. Saat
menjadi menteri bertahun-tahun mereka harus menumpang hidup di paviliun
sahabat Natsir, Prawoto Mangkusaswito, di kampung Bali, Tanah Abang.
Ketika pemerintah RI pindah ke Yogyakarta, Nasir menumpang di paviliun
milik keluarga Agus Salim. Baru tahun 1946 akhir, pemerintah kemudian
memberikan rumah dinas untuk Natsir. Inilah untuk pertama kalinya
keluarga Natsir tidak perlu menumpang lagi. Rumah itu berada di Jl Jawa,
Jakarta Pusat.
Kesederhanaan Natsir
tercermin dalam berbagai hal. Kemeja lusuhnya yang cuma dua helai,
jasnya yang bertambal dan sikapnya yang santun. Para pegawai kementerian
penerangan pernah urunan membelikan Natsir kemeja baru. Hal itu
dilakukan agar Natsir tampak pantas sebagai menteri. Natsir memang
teladan menteri yang langka.
Bung Hatta
Kisah tentang Bung Hatta dan mobil dinas nya ini diceritakan oleh
pengusaha Hasjim Ning, yang juga merupakan keponakan Bung Hatta, dalam
otobiografinya karangan AA Navis.
Pada suatu hari, Bung Hatta yang pada saat itu menjabat sebagai perdana
menteri kangen dengan ibundanya yang sudah lama tidak ditemui. Hasjim
Ning diminta Bung Hatta untuk menjemput ibundanya, Ibu Saleha atau
dipanggil Hasjim dengan sebutan Mak Tuo ke Sumedang, Jawa Barat.
Dalam pikiran Hasjim Ning, seharusnya Bung Hatta sebagai anak yang
datang menjemput ibunya. Sebagai perdana menteri, hal itu akan baik bagi
pamor Bung Hatta. Terutama apabila dalam kunjungan turut disertakan
para wartawan.
Dalam pikiran Hasjim Ning juga, Ibu Saleha akan sangat bahagia apabila
mendapat kunjungan dari anaknya yang menjabat perdana menteri. Namun,
Hasjim tidak bisa menyampaikan pikirannya itu kepada Bung Hatta. "Sebab
aku maklum, apabila Bung Hatta telah berkata, kata-katanya itu sudah ia
pikirkan dengan seksama. Maka ia tidak akan mengubahnya," demikian
Hasjim Ning.
Sebagai gantinya Hasjim mengusulkan agar Mak Tuo dijemput dengan mobil
Bung Hatta sendiri yaitu sebuah mobil dinas yang biasa digunakan oleh
Bung Hatta. Maksud Hasjim, biar Mak Tuo senang dan bangga.
Apa jawaban Bung Hatta? "Tidak bisa. Pakai saja mobil Hasjim," kata Bung
Hatta. Menurut Hasjim, apa salahnya ibunda seorang perdana menteri naik
mobil anak kandungnya? Siapa tidak akan setuju?
Rakyat juga akan menerima dengan wajar karena menghormati pemimpinnya.
Alasan Bung Hatta menunjukkan betapa bersih dan jujur jiwanya. "Mobil
itu bukan kepunyaanku. Mobil itu milik negara," kata Bung Hatta.
Begitulah Bung Hatta, sosok yang selalu merasa bersalah jika
menyalahgunakan wewenang dan fasilitas negara yang diberikan kepadanya.
Dia tidak mau fasilitas negara digunakan untuk kepentingan pribadi.
Mari berpikir, adakah pejabat kita sekarang seperti Bung Hatta? Yang
sering kita temui adalah tipikal pejabat yang minta fasilitas paling
eksklusif untuk keluarga dan kerabatnya. Mereka melakukannya tanpa rasa
malu!
H. Agus Salim
Beliau terlahir dengan nama Mashudul Haq yang artinya pembela kebenaran.
Dalam pemerintahan RI, dia beberapa kali duduk dalam kabinet, sebagai
menteri muda luar negeri Kabinet Sjahrir II (1946), dan kabinet Sjahrir
III (1947), menteri luar negeri kabinet Amir (1947), menteri luar negeri
kabinet Hatta (1948-1949).
Menurut catatan harian Prof Schermerhorn, pemimpin delegasi Belanda
dalam perundingan Linggajati, Agus Salim adalah orang yang sangat
pandai. Beliau mampu bicara dan menulis dengan sempurna sedikitnya dalam
sembilan bahasa. Hanya satu hal yang menjadi "kelemahan" dari Haji Agus
Salim, yaitu beliau hidup melarat.
Menurut berbagai kisah, Haji Agus tidak hanya hidup dengan sederhana,
bahkan mendekati miskin. Keluarga Haji Agus Salim pernah tinggal di
Gang Lontar Satu di Jakarta. Kalau menuju ke Gang Lontar Satu, harus
masuk dulu ke Gang Kernolong, kemudian masuk lagi ke gang kecil.
Sungguh sesuatu yang sulit dibayangkan jika ada pejabat yang sudi
tinggal di tempat yang terletak jauh didalam gang. Beliau tercatat tak
pernah tertarik untuk berpindah ke rumah yang lebih mewah.
Untuk mengurangi kejenuhan, setiap enam bulan sekali dia punya
kebiasaan, mengubah letak meja kursi, lemari sampai tempat tidur.
Kadang-kadang kamar makan di tukarnya dengan kamar tidur.
Haji Agus Salim berpendapat dengan berbuat demikian, dia mengubah
lingkungan, yang manusia sewaktu-waktu perlukan tanpa pindah tempat atau
rumah. Apalagi pergi istirahat ke lain kota atau negeri. Tidak ada
dalam pikiran Haji Agus Salim, punya vila seperti para pejabat sekarang.
Mendengar cerita tentang Haji Agus Salim itu, tidakkah para pejabat yang
minta naik gaji malu. Haji Agus Salim, salah satu pendiri republik ini,
betul-betul menerapkan istilah yang disampaikan Kasman Singodimedjo
saat bertamu ke rumahnya, leiden is lijden, memimpin itu menderita.
Artinya, memimpin itu tidak untuk foya-foya.
Sri Sultan Hamengku Buwono IX
Cerita mngenai kesederhanaan hidup Sri Sultan Hamengku Buwono IX
disampaikan oleh Sri Sultan HB X saat melakukan orasi budaya dalam acara
Pengetan Panghargyan Satu Abad Sri Sultan HB IX di Pagelaran, Alun-alun
Selatan, Kompleks Kraton, Yogyakarta.
"Kesederhanaannya tercermin saat beliau menonton sepakbola
seorang wartawan melihat di kaki beliau terpasang kaos kaki berlubang
dan longgar. Sampai-sampai untuk menahan melorotnya kaos kaki digunakan
gelang karet untuk mengikatnya," kata Sri Sultan IX.
Selain kesederhanaannya, Sri Sultan HB IX juga dikenal tidak
mementingkan dirinya sendiri dan keluarganya. Keluarga baginya tidak
terlalu dipentingkan beliau. Beliau mampu berkorban untuk orang lain.
Sikap Sri Sultan HB IX walaupun sering bergaul dengan bangsa asing
Belanda tidak pernah menganggap dirinya sebagai bangsawan.
"Ini yang tidak dikehendaki Sultan HB VIII maka dititipkan Dorojatun
(nama kecil Sri Sultan HB IX) pada keluarga Belanda. Pendidikan seperti
itulah yang harus bisa kita teladani.
Sampai pada akhirnya beliau memegang pimpinan ini yang sangat dikagumi
karena karakternya masih sama dengan famili yang lain. Hidup sederhana,
mampu menjadi contoh, hidup jujur sebagai seorang kesatria," ungkap KRM
Maswito, keponakan almarhum Sri Sultan HB IX.
Selain itu, sikap Pancasilais dan demokratis juga tercermin saat Sri Sultan memimpin rapat dan dalam kesehariannya.
"Apabila bersikap selalu demokratis. Sultan itu kalau memimpin rapat
semuanya diajak bicara kemudian diberi kesempatan mengemukakan pendapat.
Baru yang terakhir dia mengambil kesimpulan.
Kalau saya mempunyai pendapat begini. Gimana sebaiknya? Ini sebetulnya
seorang pemimpin yang kayak begitu yang diharapkan bangsanya. Jadi
begini merupakan sikap Pancasilais. Ini juga mengagumkan itulah yang
dipraktikkan beliau sehari hari," tegasnya.
RM Maswito menjelaskan terbentuknya karakter Sri Sultan HB IX berkat
pendidikan. Doktrin dan arahan dari ayahnya Sri Sultan HB VIII kepadanya
menjadi rahasia umum rakyat Yogyakarta.
"Ini sebetulnya hasil pendidikan itu dari Sultan yang ke VIII. Banyak
orang tidak tahu bahwa kuncinya ada di situ. Dikira Sultan VIII
bergandengan dengan Belanda akan lebih mementingkan dan lebih dari
Belanda.
Ini mesti lebih Belanda dari Belanda. Maka pada satu saat waktu terjadi
tarik ulur kontrak politik dengan Belanda dia sampai berucap: 'andaikata
ayahandamu masih ada tidak akan terjadi kayak begini'," ujarnya.
"Sultan IX kemudian menjawab 'oh berarti Anda kalau demikian anda selama
ini tidak mengerti apa yang sesungguhnya maksud dari ayah saya itu'.
Mereka terkaget-kaget juga mereka tidak menduga jawaban itu," katanya.
Sultan jauh hari sebelum berangkat untuk sekolah ke Belanda sudah diberi
penjelasan oleh ayahnya bahwa Belanda di negaranya sana berbeda dengan
Belanda yang di sini yang menjajah di Indonesia.
"Kamu akan hidup bersama mereka cukup lama nanti. Tetapi pesan saya
jangan sekali-kali kamu kepincut atau malah menikah dengan Belanda.
Pesan ini sangat kuat disampaikan ayah Sultan IX sebab bisa
diombang-ambingkan politik Belanda.
Nah itu juga salah satu pendidikan dari Sultan VIII yang sudah
bertahun-tahun pisah dari keluarga," ucapnya menirukan cerita ayahnya
saat itu.
Selain itu, doktrin, budaya dan pendidikan jaman itu Sultan menganggap
bahwa para bangsawan dekat dengan ibunya. Bahkan ibunya menjadi
sesembahan dan disembah-sembah hal ini tidak dikehendaki Sultan HB IX
seperti itu.
"Karena demokratisnya beliau karena pendidikan yang cukup lama bergaul
lama dengan Belanda. Yang itu tidak disadari dan diduga oleh Belanda kok
bisa Sultan menjadi prorepublik. Ini kekaguman seperti saya saya tahu
secara mendalam karena bapak saya GMRT Karto atau GBPH Prabuningrat
menjadi pendamping Sri Sultan IX waktu disekolahkan ayahandanya Sultan
HB VIII di negeri Belanda Tahun 1930," tuturnya.
Ayahnya memang khusus diberikan tugas oleh Sri Sultan VIII untuk
mendampingi almarhum Sri Sultan IX selama bersekolah di Belanda.
"Jadi saya dapatkan semua cerita itu banyak terutama dari ayah saya.
Termasuk bagaimana cara melayani atau meladeni Sultan itu. Ini pesan
dari ayah saya, 'begini, kalau kamu melayani Sultan maka pertama jangan
sekali-kali ingin mendapatkan keuntungan materi'," ucapnya.
"Kedua, apabila memberikan konsep-konsep atau minta pertimbangan jangan
hanya mengatakan 'monggo dawuh dalem' tapi berikan beliau alternatif
banyak. Kemudian beliau akan memilih dan akan menambahkan wawasan,"
imbuhnya.
"Beliau tidak suka jika menghadapi orang yang nuwun inggih. Biasanya
khan orang senang mendikte tetapi beliau tidak," pungkas RM Maswito.
Apa yang kita dapatkan :
Sungguh melihat apa yang dilakukan menteri di masa lalu lebih
mementingkan kepentingan rakyat dari pada kepentingan pribadi. Mungkin
bisa juga sebagai rasa terimakasih serta tanggung jawab diri kepada
negara.
Karena dulu dan sekarang beda. Dulu pejabat dipilih langsung oleh negara
tanpa memikirkan apa yang dimiliki pejabat tersebut, Namun kini untuk
menjadi seorang pejabat diperlukan modal yang tak sedikit.
Para calon pejabat tidak dipilih oleh negara, melainkan mendaftarkan
diri kepada negara. Dengan begitu bukan rahasia lagi, jika para calon
pejabat mengahabiskan banyak uang untuk menempati kursi di pemerintahan.
Pejabat sekarang bekerja bukan untuk kepentingan negara, melainkan
bekerja untuk kepentingan priba. Jabatan digunakan untuk memperkaya diri
dan keluarga.
Berbeda dengan dahulu, ketika negara datang menawarkan mereka menolak
semua fasilitas, dan bekerja sepenuh hati membangun negara, menjadi
negara yang sejahtera.
Tak heran, dari banyak yang merindukan sosok sosok menteri masa lalu yang bekerja berdasar hati nurani dan kepentingan negara.
No comments:
Post a Comment